KRITIK TERHADAP LOGIKA HUKUM DALAM PUTUSAN TOM LEMBONG: MEMBEDAH MAKNA 'TERKESAN' DALAM YURISPRUDENSI

Doc: Antaranews.com
Tulisan ini tidak bertujuan membela tindak pidana, melainkan mengkritisi pertimbangan hukum yang digunakan dalam putusan pengadilan.

Oleh: Dedi Sumardi

Pendahuluan
Putusan pengadilan harus berdasarkan hukum, fakta, dan logika yuridis, bukan pada kesan subjektif atau tafsir ideologis. Namun, dalam kasus Tom Lembong, publik dibuat terkejut oleh pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa ia:
"Terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan sistem ekonomi Pancasila.” (Hakim, dikutip dari Detik.com, 17 Juli 2025)
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah "kesan" bisa menjadi dasar penghukuman?

Kutipan Resmi dari Pengadilan
Dilansir dari Detik.com (17 Juli 2025), hakim menyampaikan: 
"Terdakwa saat menjadi Menteri Perdagangan... terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan dengan sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945." 
Selain itu, hakim juga menilai bahwa Tom:
  • Tidak melaksanakan tugas berdasarkan asas kepastian hukum
  • Mengabaikan tanggung jawab akuntabel, adil, dan bermanfaat
  • Tidak menjaga stabilitas harga gula yang terjangkau
Namun yang menjadi masalah bukan evaluasi administratif itu, melainkan penggunaan kata “terkesan” dalam konteks ideologi sesuatu yang tidak dapat diukur secara yuridis.

Apa Itu Ekonomi Pancasila? Adakah Dasar Hukumnya?
Sistem ekonomi Pancasila adalah sebuah cita-cita normatif, termuat secara implisit dalam Pasal 33 UUD 1945, yang berbicara tentang keadilan sosial dan kekeluargaan. Tetapi:
  • Tidak ada UU khusus yang menjabarkan sistem ekonomi Pancasila secara operasional atau teknis
  • Tidak ada standar hukum untuk menilai apakah seseorang "kapitalis" atau "berpancasila" secara ekonomi
Maka ketika hakim menyatakan Tom lebih "kapitalis", itu menjadi opini tafsir pribadi bukan fakta hukum yang bisa diuji.

Cacat Logika dalam Yurisprudensi?
Dalam ilmu hukum, ini termasuk cacat yang disebut:
Non-factual argumentation - menyimpulkan sesuatu dari kesan atau nilai pribadi hakim, bukan dari fakta atau bukti hukum.
Secara filosofis, hukum seharusnya objektif, netral, dan berbasis bukti. Bila keputusan pengadilan justru mengandalkan diksi seperti "terkesan", maka:
  1. Putusan kehilangan dasar objektif
  2. Subjektivitas hakim masuk ke dalam logika
  3. yurisprudensi Membuka celah abuse of power atas nama ideologi
Dampaknya terhadap Penegakan Hukum
Jika tren ini dibiarkan, ke depan:
  • Orang bisa dihukum karena kesan ideologis, bukan perbuatan hukum
  • Kritik terhadap kebijakan bisa dianggap “tidak Pancasilais”
  • Demokrasi dan kebebasan berpendapat terancam
Kesimpulan
Kasus Tom Lembong adalah contoh nyata bahwa:
  • Hukum harus berpijak pada fakta, bukan pada persepsi ideologi
  • Istilah “kapitalis” atau “tidak Pancasilais” tidak memiliki definisi hukum yang bisa dijadikan landasan putusan
  • Yurisprudensi cacat bila dibangun dari diksi subjektif
Jika kita ingin hukum tetap menjadi alat keadilan, maka: Kita harus menolak segala bentuk "penghukuman berdasarkan kesan".

Referensi
  • Detik.com. Alasan Hakim Tetap Hukum Tom Lembong Meski Tak Nikmati Hasil Korupsi. 17 Juli 2025
  • Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33

Komentar

Postingan Populer