Pion Hukum, Papan Catur Kekuasaan: Meneropong Langkah Elite Pasca Keputusan Amnesti & Abolisi
![]() |
foto: cnnindonesia.com |
Penulis: Dedi Sumardi
Di panggung politik, sebuah narasi besar sedang disajikan untuk kita. Media nasional seperti Kompas melansir berita utama: "Hasto dan Tom Lembong Diampuni, Pemerintah Prabowo Ingin Rekonsiliasi." Pemerintah secara resmi membingkai pemberian abolisi dan amnesti kepada dua figur yang kerap berseberangan ini sebagai sebuah langkah mulia. Tujuannya, kata mereka, adalah menyudahi polarisasi, menyatukan kembali elemen bangsa, dan menciptakan stabilitas politik demi pembangunan.
Ini adalah narasi ideal yang diajarkan dalam buku teks kewarganegaraan. Sebuah narasi tentang pemimpin yang berjiwa besar.
Namun, pendidikan kewarganegaraan yang sejati tidak berhenti pada apa yang tampak di permukaan. Ia melatih kita untuk bertanya, menganalisis, dan membaca peta kekuasaan yang sesungguhnya. Sebab, dalam Pendidikan Kewarganegaraan, tidak ada keputusan besar yang lahir dari ruang hampa. Selalu ada sebab, akibat, dan kepentingan yang bermain di baliknya.
Narasi di Atas Meja vs. Kalkulasi di Balik Layar
Secara formal, langkah Presiden menggunakan hak prerogatifnya adalah sah. Argumen "rekonsiliasi nasional" pun terdengar logis dan menenangkan. Siapa yang tidak menginginkan sebuah bangsa yang bersatu dan damai?
Akan tetapi, seorang warga negara yang kritis terlatih untuk melihat pola. Pemberian ampunan kepada dua tokoh sentral dari kubu politik yang berbeda, satu representasi teknokrat kritis, satu lagi representasi partai oposisi terbesar yang terjadi hampir bersamaan, adalah sebuah pola yang terlalu sinkron untuk diabaikan.
Pendidikan Kewarganegaraan mengajarkan kita bahwa ketika sebuah peristiwa hukum yang luar biasa terjadi berdekatan dengan potensi pergeseran peta politik yang signifikan (seperti merapatnya PDI Perjuangan ke koalisi pemerintah), kita tidak sedang melihat dua kebetulan. Kita mungkin sedang menyaksikan sebuah koreografi politik, di mana satu langkah menjadi prasyarat bagi langkah berikutnya. Di sinilah kita beralih dari narasi "rekonsiliasi agung" ke analisis "konsesi dan lobi".
Papan Catur Jangka Panjang: Mengamankan 2024, Menata Panggung 2029
Untuk memahami manuver ini, kita harus melihatnya dalam dua horizon waktu: jangka pendek dan jangka panjang.
Jangka Pendek (Mengamankan Periode 2024-2029): Bagi pemerintahan yang baru, tantangan terbesar adalah stabilitas politik di parlemen. Dengan "menjinakkan" atau merangkul kekuatan oposisi terbesar, pemerintah secara efektif mengamankan agendanya. Undang-undang akan lebih mudah disahkan, kebijakan akan berjalan lebih mulus tanpa gangguan berarti. Abolisi dan amnesti, dalam logika ini, dapat dilihat sebagai "pelumas" yang memperlancar mesin koalisi raksasa ini.
Jangka Panjang (Menata Panggung untuk 2029): Para elite politik tidak berpikir dalam siklus lima tahunan saja. Mereka sudah memikirkan pertarungan berikutnya.
- Bagi Pemerintah: Konsolidasi penuh selama lima tahun akan memperkuat basis kekuasaan dan citra sebagai rezim yang stabil dan efektif, menjadi modal kuat untuk kontestasi selanjutnya.
- Bagi PDIP: Bergabung dengan pemerintah setelah "masalah hukum" para elitenya selesai bisa jadi merupakan langkah strategis. Daripada menjadi oposisi yang terus-menerus "diserang" dan tergerus sumber dayanya, berada di dalam lingkaran kekuasaan memungkinkan mereka untuk berkonsolidasi, menjaga basis massa, dan membangun kembali kekuatan untuk pertarungan tahun 2029 dari posisi yang lebih kuat.
Ini bukan lagi sekadar cerita tentang Hasto atau Tom Lembong. Ini adalah cerita tentang bagaimana papan catur kekuasaan sedang ditata ulang untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Pelajaran Pahit untuk Demokrasi Kita
Lalu, apa pelajaran kewarganegaraan yang bisa kita petik dari "studi kasus" ini?
- Erosi Supremasi Hukum: Ketika proses hukum bisa dimulai karena sentimen politik dan diakhiri karena negosiasi politik, kepercayaan publik terhadap asas equality before the law (semua sama di mata hukum) secara tak terhindarkan akan tergerus. Hukum menjadi terkesan fleksibel bagi elite, namun kaku bagi rakyat biasa.
- Krisis Oposisi: Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang vokal dan kritis sebagai penyeimbang. Jika semua kekuatan besar bergabung dalam "orkestra" pemerintah, siapa yang akan memainkan nada sumbang saat kebijakan keliru? Kita berisiko menciptakan sebuah koor tunggal yang hanya menyanyikan lagu-lagu pujian, sementara masalah nyata di masyarakat tidak terwakili.
- Potensi Apatisme Publik: Ini adalah dampak paling berbahaya. Jika publik terus-menerus disajikan tontonan di mana politik hanyalah permainan dagang sapi antar-elite, mereka bisa menjadi sinis dan apatis. Mereka akan merasa suara mereka tidak berarti, karena pada akhirnya semua akan diputuskan di meja perundingan tertutup.
Kesimpulan: Tugas Kita Sebagai Warga Kritis
Membaca peta kuasa ini bukanlah untuk membuat kita putus asa. Justru sebaliknya. Ini adalah panggilan untuk menjadi warga negara yang lebih cerdas dan lebih waspada.
Tugas kita dalam sebuah "Civic Education Project" adalah menolak untuk sekadar menjadi penonton. Kita harus menjadi analis. Kita harus belajar membedakan antara narasi formal dan realita politis. Peran kita adalah menciptakan "oposisi gagasan" di ruang publik, terus mengajukan pertanyaan sulit, dan menuntut transparansi, bahkan ketika suara-suara di parlemen telah menjadi satu.
Karena pada akhirnya, pertanyaan terpenting yang ditinggalkan oleh peristiwa ini adalah: jika semua elite sibuk menata papan catur 2029, siapa yang sedang fokus menjaga kepentingan rakyat di tahun 2025?
Dedi Sumardi, 03 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar