Sebuah Kajian Kritis dengan Perspektif Filsafat dan Sosial-Politik
Oleh: Dedi Sumardi
![]() |
Sumber: umm.ac.id/id/arsip-koran/duta-masyarakat/ |
Pendahuluan: Pancasila vs Sifat Dasar Manusia
Pancasila, sebagai ideologi dasar negara Indonesia, sering kali dipandang sebagai manifestasi idealisme moral. Namun, dalam konteks filsafat klasik dan modern, Pancasila menghadapi pertanyaan mendasar: apakah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan sifat dasar manusia yang menurut Thomas Hobbes adalah "homo homini lupus" (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya)?
Hobbes melihat dunia sebagai medan perjuangan tanpa henti, di mana manusia secara alami egois, kompetitif, dan cenderung mencari keuntungan pribadi tanpa memedulikan orang lain. Dalam kerangka ini, bagaimana mungkin Pancasila, dengan prinsip seperti "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dan "Keadilan Sosial," dapat bertahan di era global yang semakin individualistik dan materialistik? Artikel ini akan mengulas Pancasila secara mendalam, dengan merujuk pada pemikiran Aristoteles, Karl Marx, Hobbes, dan teori-teori sosial-politik kontemporer.
1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa “Antara Spiritualitas dan Materialisme”
Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," adalah fondasi spiritual Pancasila. Namun, dalam perspektif filsafat materialisme historis Karl Marx, agama sering kali menjadi "candu masyarakat" (opium of the people) alat untuk menenangkan massa dari realitas ketidakadilan sosial.
Kritik Filsafat:
- Aristoteles: Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politikon ialah makhluk sosial yang mencari kebaikan bersama melalui akal budi. Namun, konsep "Ketuhanan" dalam Pancasila berpotensi dilemahkan oleh materialisme modern, di mana manusia lebih fokus pada kepentingan duniawi daripada spiritualitas.
- Karl Marx: Marx percaya bahwa agama adalah refleksi dari alienasi manusia terhadap kondisi ekonominya. Dalam konteks ini, apakah sila pertama hanya menjadi alat legitimasi bagi status quo, tanpa benar-benar memberdayakan rakyat?
2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab "Mitos tentang Keberadaban"
Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," bertujuan untuk menjaga martabat manusia dan mempromosikan keadilan universal. Namun, konsep ini tampak naif dalam pandangan Hobbes, yang melihat manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya brutal dan egois.
Kritik Filsafat:
- Hobbes: Dalam Leviathan (1651), Hobbes menyatakan bahwa tanpa otoritas yang kuat, manusia akan hidup dalam "keadaan alamiah" yang brutal, di mana kekerasan dan ketidakadilan adalah norma. Apakah Pancasila bisa menjamin keadilan tanpa kekuasaan yang represif?
- Karl Marx: Marx melihat ketidakadilan sebagai hasil langsung dari sistem kapitalisme global. Dengan kata lain, selama struktur ekonomi dunia tetap didominasi oleh kapitalisme, "keadilan" dan "kemanusiaan" hanya akan menjadi ilusi.
3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia "Utopia dalam Dunia yang Terbelah"
Sila ketiga, "Persatuan Indonesia," adalah upaya untuk menyatukan bangsa yang majemuk. Namun, dalam dunia yang semakin terpolarisasi, konsep persatuan ini tampak seperti utopia yang sulit dicapai.
Kritik Filsafat:
- Aristoteles: Meskipun Aristoteles percaya pada pentingnya komunitas (koinonia), ia juga menyadari bahwa konflik adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan sosial. Bagaimana Pancasila bisa mempertahankan persatuan tanpa menekan perbedaan?
- Karl Marx: Marx melihat nasionalisme sebagai alat borjuis untuk mengeksploitasi kelas pekerja. Dalam konteks ini, apakah "persatuan" hanya menjadi alat penguasa untuk menutupi ketegangan sosial?
4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan "Demokrasi atau Elitisme?"
Sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," adalah model unik demokrasi Indonesia. Namun, dalam praktiknya, sistem ini sering kali menjadi alat elit politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Kritik Filsafat
- Aristoteles: Aristoteles membedakan antara demokrasi (pemerintahan rakyat) dan oligarki (pemerintahan segelintir orang). Apakah sistem demokrasi Pancasila benar-benar mewakili rakyat, ataukah hanya oligarki yang disamarkan?
- Karl Marx: Marx melihat demokrasi liberal sebagai alat untuk mempertahankan dominasi kelas borjuis. Dalam konteks ini, apakah musyawarah mufakat hanya menjadi formalitas tanpa substansi?
5. Sila Kelima: Keadilan Sosial—Mimpi atau Kenyataan?
Sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," adalah janji moral Pancasila untuk menciptakan masyarakat yang adil. Namun, dalam dunia kapitalisme global, keadilan sosial sering kali hanya menjadi slogan kosong.
Kritik Filsafat:
- Karl Marx: Marx percaya bahwa kapitalisme adalah sistem yang inheren tidak adil karena berdasarkan eksploitasi kelas buruh oleh kelas borjuis. Dalam konteks ini, apakah Pancasila cukup revolusioner untuk menghadapi ketidakadilan struktural?
- John Rawls: Dalam A Theory of Justice (1971), Rawls berpendapat bahwa keadilan harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan distribusi yang adil. Namun, di Indonesia, ketimpangan ekonomi semakin lebar.
Penutup: Pancasila Sebagai Ideologi yang Harus Direvolusi
Pancasila bukanlah ideologi statis, melainkan sebuah sistem nilai yang harus terus berkembang. Namun, tantangan yang dihadapinya begitu besar, dari sifat dasar manusia yang egois hingga sistem global yang tidak adil.
Apakah Pancasila cukup kuat untuk bertahan tanpa perubahan signifikan? Ataukah ia harus direvolusi agar relevan dengan zaman? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada kemampuan kita untuk mereinterpretasi Pancasila secara kritis dan adaptif.
Catatan Akhir: Artikel ini bukan dimaksudkan untuk meruntuhkan Pancasila, melainkan untuk membuka ruang diskusi tentang bagaimana Pancasila bisa menjadi ideologi yang benar-benar hidup di era global.
Referensi Utama:
- Karl Marx, The Communist Manifesto (1848).
- Thomas Hobbes, Leviathan (1651).
- Aristotle, Politics (350 BCE).
- Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (1951).
- John Rawls, A Theory of Justice (1971).
Komentar
Posting Komentar