Logika 'Pos Biaya': Mengapa Cara Pandang Negara Terhadap Guru Perlu Dikritik Secara Fundamental"

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) yang digelar di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jalan Tamansari, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/8/2025).(Dok. KOMPAS.com)

Oleh: Dedi Sumardi

Disclaimer: Tulisan ini adalah opini dan analisis pribadi yang bertujuan sebagai bahan diskusi dalam kerangka Pendidikan Kewarganegaraan. Tidak dimaksudkan untuk menuduh pihak mana pun, melainkan untuk mendorong pemikiran kritis terhadap sistem dan kebijakan.

Dalam sebuah berita yang dilansir oleh Tempo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan pertanyaan retoris yang menggema di seluruh ruang sunyi pengabdian para guru: "Semuanya harus negara yang tanggung?". Mengapa di negara yang konstitusinya bertujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa", kesejahteraan para pendidiknya selalu menjadi polemik? Jawabannya mungkin terletak pada cara pandang dominan para pengelola negara: sebuah Logika 'Pos Biaya'. Ini adalah sebuah nalar yang melihat guru sebagai beban yang harus dihitung, bukan sebagai aset yang harus dikembangkan tanpa batas. Inilah logika yang perlu kita gugat secara fundamental.

Ini bukan lagi sekadar perdebatan tentang efisiensi. Ini adalah krisis filosofis yang menyentuh akar paling dasar tentang tujuan kita bernegara. Pendidikan kewarganegaraan yang sejati menuntut kita untuk membongkar kacamata ini dan mempertanyakan prioritas yang lahir darinya.

Lupa pada Hiroshima: Saat Kaisar Mencari Guru, Bukan Insinyur

Ada sebuah pelajaran sejarah yang seringkali kita lupakan. Ketika bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Kaisar Hirohito kepada para jenderalnya bukanlah, "Berapa banyak tentara yang tersisa?" atau "Berapa pabrik yang masih berdiri?". Pertanyaannya jauh lebih fundamental: "Ada berapa banyak guru yang masih kita miliki?"

Di tengah kehancuran total, seorang pemimpin bangsa yang visioner tahu persis di mana titik awal untuk membangun kembali sebuah peradaban: guru. Jepang bangkit dari abu bukan karena membangun pabrik lebih dulu, tapi karena mereka menyelamatkan dan memuliakan para pendidiknya. Guru adalah arsitek jiwa sebuah bangsa.

Kini, mari kita berkaca. Di negeri ini, yang konstitusinya secara agung bertujuan untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa", kita justru disajikan sebuah pertanyaan yang menyiratkan bahwa para arsitek jiwa itu adalah sebuah beban. Ini adalah sebuah paradoks yang menyakitkan. Di saat negara lain melihat guru sebagai fondasi pemulihan, kita justru melihatnya sebagai pos yang perlu "diefisienkan" atau "digotong-royongkan".

Realita Amburadul di Lapangan: Pengkhianatan terhadap Konstitusi

Wacana dari Menkeu menjadi lebih ironis ketika kita turun dari menara gading kebijakan dan melihat langsung kondisi pendidikan kita. Kata "mencerdaskan" dalam konstitusi terasa seperti lelucon pahit ketika kita melihat sekolah-sekolah negeri di pelosok yang lantainya masih tanah, atapnya bocor, dan papan tulisnya usang. Ada jurang menganga antara sekolah negeri dan swasta favorit, menciptakan apartheid pendidikan yang melanggengkan ketidaksetaraan sejak dini.

Dan di tengah sistem yang amburadul ini, berdiri para gurunya dengan status yang terkotak-kotak dan membingungkan: PNS, PPPK, honorer, guru yayasan. Setiap status membawa nasib dan tingkat kesejahteraan yang berbeda, menciptakan kasta-kasta dalam profesi yang seharusnya luhur. Negara seperti secara sengaja menciptakan fragmentasi ini, mencederai semangat konstitusi itu sendiri yang seharusnya menjamin kesetaraan.

Gaji mereka? Sungguh miris. Upah yang diterima seringkali tidak sebanding dengan beban kerja yang melampaui jam sekolah. Seorang guru tidak hanya mengajar; mereka dibebani tuntutan moral. Jika ada siswanya yang terlibat masalah di luar sekolah, guru adalah salah satu pihak pertama yang dimintai pertanggungjawaban moral. Mereka adalah pendidik, psikolog, administrator, sekaligus tameng moral masyarakat, dengan upah yang kadang tak cukup untuk menopang dapur mereka sendiri.

Guru: Panggilan Jiwa atau Pelarian dari Realita?

Akibat dari semua ini, profesi guru di Indonesia seringkali diisi oleh dua jenis manusia: mereka yang benar-benar memiliki panggilan jiwa (passion), dan mereka yang terpaksa karena keadaan.

Sulitnya lapangan kerja membuat banyak orang "nyambi" menjadi guru. Mereka masuk dengan dalih pengabdian, sambil menghibur diri dengan mantra "rezeki bisa didapat di mana saja." Ini bukan salah mereka. Ini adalah kegagalan sistem yang tidak mampu menjadikan profesi guru sebagai pilihan karier utama yang menjanjikan, yang bisa menarik talenta-talenta terbaik bangsa.

Maka, pertanyaan ini harus kita tanyakan dengan keras: Mau sampai kapan polemik gaji guru ini akan terus menjadi lagu lama yang diputar setiap tahun?

Sebuah Usulan Radikal: Reformasi Total, Bukan Sekadar Bantuan

Jika negara serius ingin mencerdaskan bangsa, maka negara harus berhenti melihat guru sebagai pegawai biasa. Harusnya negara menghilangkan semua status yang membingungkan itu dan menyatukannya dalam satu standar profesi yang luhur dan sejahtera.

Perketat seleksi masuk ke jurusan keguruan. Jadikan ia sekompetitif sekolah kedokteran atau teknik. Berikan insentif terbaik, gaji yang sangat layak, dan jaminan karier yang jelas. Hanya dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa orang-orang paling cerdas dan paling bersemangatlah yang akan berdiri di depan anak-anak kita.

Pada akhirnya, jawaban atas pertanyaan Sri Mulyani bukanlah "ya" atau "tidak". Jawaban yang benar adalah sebuah pertanyaan balik yang menggugat: "Sebelum Anda bertanya siapa yang harus menanggung gaji guru, sudahkah Anda bertanya apakah negara ini benar-benar serius ingin menjadi bangsa yang cerdas?"

Komentar

Postingan Populer