Oleh: Dedi Sumardi
Di Indonesia, Pancasila kerap ditempatkan sebagai dogma final "kebenaran tunggal yang tidak boleh dipersoalkan". Dari sekolah dasar hingga ruang sidang DPR, Pancasila diajarkan sebagai sesuatu yang harus dihafal, ditaati, bahkan disakralkan. Tetapi ketika Rocky Gerung menyatakan bahwa Pancasila bukan ideologi, melainkan bahan perdebatan, publik sontak gaduh.
Pertanyaannya: apakah Pancasila harus selalu diperlakukan sebagai kebenaran absolut, atau justru sebagai arena dialektika yang membuka ruang kritik?
Rocky Gerung menyebut Pancasila bukan ideologi karena ideologi menutup perdebatan. Ideologi bekerja dengan klaim kebenaran mutlak, sementara filsafat bekerja dengan pertanyaan tak berkesudahan. Menurutnya, jika Pancasila disakralkan dan dijadikan ideologi, ia akan membungkam kritik dan mengunci demokrasi dalam dogmatisme.
“Pancasila itu bukan ideologi. Pancasila itu bahan perdebatan. Kalau disebut ideologi, artinya ia kebenaran tunggal, dan itu berbahaya.” - Rocky Gerung
Dengan kata lain, Pancasila seharusnya menjadi ruang terbuka, tempat berbagai tafsir, bukan kitab suci politik yang dipakai untuk mengadili lawan.
Pancasila Sebagai Alat Kekuasaan
Sejarah membuktikan, Pancasila sering dipakai sebagai alat legitimasi politik. Pada era Orde Baru, tafsir tunggal Pancasila dimonopoli negara lewat program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Siapa pun yang berbeda, bisa dicap anti-Pancasila.
Di era Reformasi, meski situasinya lebih bebas, pola serupa masih terlihat. Kritik terhadap kebijakan pemerintah bisa dengan mudah dialihkan dengan tudingan “tidak Pancasilais.” Inilah bahaya menjadikan Pancasila sebagai kebenaran tunggal: ia berhenti menjadi pedoman moral, dan berubah menjadi senjata ideologis.
Jika mengikuti logika Rocky Gerung, Pancasila justru harus hidup dalam perdebatan. Mengapa? Karena sila-sila di dalamnya lahir dari kompromi politik para pendiri bangsa. Artinya, sejak awal Pancasila memang bukan doktrin beku, melainkan produk diskursus yang terus terbuka bagi interpretasi baru.
- Ketuhanan Yang Maha Esa → apakah ini ruang toleransi, atau justru instrumen sakralisasi politik?
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab → bagaimana dihubungkan dengan kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas?
- Keadilan Sosial → apakah ini masih relevan ketika oligarki menguasai ekonomi
Kebenaran Tunggal vs Demokrasi
Demokrasi hanya bisa hidup jika rakyat bebas mengkritik, termasuk mengkritisi tafsir Pancasila. Bahaya muncul ketika negara menempatkan Pancasila sebagai “dogma final” yang tidak boleh diganggu gugat. Saat itu, Pancasila tidak lagi menjadi dasar persatuan, melainkan tameng otoritarianisme.
Dengan kata lain, menjadikan Pancasila arena perdebatan justru menyelamatkan demokrasi. Membuka ruang tafsir bukan berarti menolak Pancasila, tetapi menghidupkan semangat kritis di balik kelahirannya.
Penutup: Pancasila Harus Hidup, Bukan Disakralkan
Jika Pancasila hanya dihafalkan, ia akan mati sebagai teks. Jika Pancasila hanya dijadikan ideologi, ia akan berubah menjadi alat kekuasaan. Tetapi jika Pancasila diperdebatkan, ia akan hidup sebagai ruang dialektika bangsa.
Seperti kata Rocky Gerung, Pancasila bukan kebenaran tunggal, melainkan ruang perdebatan. Dan barangkali di situlah letak relevansinya: bukan untuk mengunci pikiran, tetapi untuk membuka kesadaran kritis rakyat Indonesia.
Referensi:
- Tempo. (2023). Pandangan Rocky Gerung soal Pancasila: Sila 1 dan 2 Bertentangan.
- Magnis-Suseno, F. (1995). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
- Kaelan. (2010). Pendidikan Pancasila.
Komentar
Posting Komentar